Posts

Let's Talk About Us

 I want to talk about us.  How we spend our night mindlessly thinking about things we shouldn't do. I want to talk about us.  Reminiscing the moment we are staring too long at the past and worrying about the future. I want to talk about us.  When we only want to fall in love, but life hit us harder.  So, at one moment we stop. We stop moving and breathe a little longer.  So, we close our eyes.  We close our eyes and feel more with our skin and ears.  So, when we are ready,  we are ready to start all over. 

Rumah-rumah Ratu

Kau dibangunkan oleh belaian lembut di kepalamu. Kau lihat, Ibu tertidur di sampingmu. Seorang perempuan tersenyum padamu dan mengajakmu berjalan ke luar kamar. Entah karena sihir apa, kau yang sudah tertidur cukup lama, bersemangat untuk berjalan menghirup udara dingin di luar sana. Perempuan itu meraih tanganmu dan menuntunmu melewati pintu berwarna merah.  "Kau siap untuk tujuan pertama kita?" Perempuan itu menatapmu, kau lihat kilauan cahaya lembut di sekitarnya. Saat pintu dibuka, yang kau lihat bukanlah lorong yang dingin. Melainkan sebuah kota yang asing dengan butiran salju memenuhi atmosfir. Anehnya, kau tidak merasa kedinginan. Walaupun baju tidurmu terlalu tipis untuk udara sedingin itu.  "Kita di mana?" Kau memperhatikan sekelilingmu dengan seksama. Berusaha mengingat setiap kota yang pernah kau kunjungi.  "Kita berada di lingkungan tempat tinggalmu. Tempat yang indah bukan?"  "Tapi, di rumahku tidak ada salju."  "Ini adalah sala

Twenty-four

 Today you wake up and you have to start a new life. You get out of bed and start to write down your to-do list. Is it laundry day, or deep cleaning your kitchen? You start to try hot coffee instead of iced americano. Make a full breakfast instead of eating a full bowl of your favorite cereal. You listen to podcasts instead of repeating your favorite boyband's debut album, and you start to live your life instead of daydreaming.  You are now an adult and they want you to stand on your own. You have to make your own decision and you must not rely on others. You might get hurt but you are too old to cry, yet you are too young to face the world on your own. When you call your mom to ask for recipes instead of asking her for money. Your friends call you and remind you to pay your taxes instead of inviting you to a girl's night out.  You are now twenty-four and you are living your best life. Buying all the albums and books you can't afford when you were fourteen. Going out all ni

Tragedi Americano

 Tadi malam, aku membantu Ibu menguleni adonan pempek. Sudah lama sekali Ibu tidak membuat makanan khas Palembang yang dulunya selalu jadi cemilan tiap akhir pekan bagi keluargaku. Kali ini, Ibu membuat porsi yang cukup banyak. Aku sampai mengira Ibu akan berjualan pempek melihat banyaknya adonan yang harus aku bentuk. Aku segera mengenakan celemek dan mulai mengasah skill seniku.  Setelah hampir satu jam membulat-bulatkan adonan pempek, aku mendengar bunyi bel rumah. Ibu terlalu sibuk menelepon temannya sampai tidak menyadari ada tamu. Ketika aku hendak berdiri, aku melihat kakakku berjalan dengan gontai menuju pintu depan. Aku kembali fokus membentuk adonan pempek dan Ibu sudah selesai menelepon dan kembali ke dapur meracik bumbu cuko.  "Huh, banyaknyo." Ujarku sambil menirukan logat Palembang.  "Ayo cepat lanjutkan, kamu mau makan pempek, kan?" Aku hanya tersenyum getir ke arah Ibu.  Tanpa kusadari, kakakku sudah berada di dapur. Suara langkah kakinya lemas sekal

Percakapan dengan Rima

Sepuluh tahun sudah Rima meninggalkan rumah. Wangi lilin aromaterapi yang mulai memudar, mug favorit Rima yang selalu ada di meja berpindah tempat ke bagian lemari paling dalam. Sudah saatnya bagi Rima untuk kembali pulang dan meninggalkan jejak baru.  Saat itu Rima masih 22 tahun, baru lulus kuliah dan memutuskan untuk pindah ke tempat yang jauh dari Ibunya. "Aku sudah dewasa dan bisa menentukan pilihanku sendiri," adalah jawaban andalan Rima ketika ditanya alasannya merantau.  Setiap tahun Rima pulang, tapi tak lebih dari tiga hari. Hanya sekadar numpang tidur, mandi, menyapa Ibu dan Bapak, lalu pergi lagi dengan taksi di pagi hari. Rima, tak pernah merindukan rumah sekalipun. Merindukan Ibu dan Bapak juga bukan perasaan yang dia kenal. "Lalu, kenapa tiba-tiba kau ingin pulang setelah sepuluh tahun? Apakah ada masalah di rumah?" Aku mencicipi milkshake yang sangat kusukai sembari menunggu jawaban darinya.  "Kau tahu kan, kalau aku dan Ibu selalu bertengkar,

Perpisahan Kedua

02:37       Kau langkahkan kakimu menuju satu-satunya bar yang masih buka. Kau berjalan di bawah temaram lampu jalan ditemani suara lolongan anjing dan desisan kucing yang bertengkar memperebutkan tulang ikan.        Kau memilih duduk di kursi paling ujung dekat jendela. Menatap sendu jalanan yang masih basah sisa hujan malam itu. Segelas bir dingin mendarat di depanmu. Tanpa kau minta, Rino si bartender sudah hapal dengan kebiasaanmu.  02:45      Kau meminum segelas bir, meneguknya pelan-pelan.  03.10      Ke toilet selama 5 menit, lalu meminta segelas air dingin.  03.15      Kau diam memandangi jalanan dengan mata sendumu.     Kau tak pernah bicara selain memesan minumanmu. Rino juga tidak pernah bertanya setelah kau mengacuhkannya di hari pertamamu mengunjungi bar itu. Rino tahu, hanya orang terluka dan berduka yang mengunjungi bar setelah tengah malam.      Bar ini adalah ruang tunggu bagi mereka. Seperti hewan-hewan liar yang terluka dan diselamatkan petugas margasatwa. Mereka dio

Tak Ada Lowongan Pekerjaan Hari Ini

*Ting Tong*  Pintu dengan knob yang mulai berkarat itu terbuka lebar. Memperlihatkan seorang laki-laki yang umurnya lebih dari setengah abad, berpakaian rapi dan membawa secangkir kopi di tangannya.  "Koran, Pak." Ujar Si Bocah pengantar koran yang sudah mengayuh sepeda onta reyot itu selama belasan tahun. Dia sudah tak pantas lagi dipanggil bocah. Namun, semua orang menganggap dia bocah, karena pada kenyataannya, dibandingkan pelanggan setianya. Dia masih seorang bocah, yang belum bau tanah.  "Tak ada lowongan pekerjaan di koran hari ini, Pak." Kata Si Bocah.  "Sayang sekali, padahal anakku masih nganggur." Jawab si pelanggan itu.  Si Bocah Koran pamit dan mulai mengayuh sepedanya, keluar dari halaman rumah yang penuh bunga-bunga dan pohon rambutan yang sebentar lagi berbuah. Si pelanggan itu bernama Pak Danar, yang setiap hari selalu menunggu Si Bocah Koran mengantarkan koran hariannya. Sesekali, dia juga mendapatkan brosur, selebaran yang ditemukan di j