Tragedi Americano

 Tadi malam, aku membantu Ibu menguleni adonan pempek. Sudah lama sekali Ibu tidak membuat makanan khas Palembang yang dulunya selalu jadi cemilan tiap akhir pekan bagi keluargaku. Kali ini, Ibu membuat porsi yang cukup banyak. Aku sampai mengira Ibu akan berjualan pempek melihat banyaknya adonan yang harus aku bentuk. Aku segera mengenakan celemek dan mulai mengasah skill seniku. 

Setelah hampir satu jam membulat-bulatkan adonan pempek, aku mendengar bunyi bel rumah. Ibu terlalu sibuk menelepon temannya sampai tidak menyadari ada tamu. Ketika aku hendak berdiri, aku melihat kakakku berjalan dengan gontai menuju pintu depan. Aku kembali fokus membentuk adonan pempek dan Ibu sudah selesai menelepon dan kembali ke dapur meracik bumbu cuko. 

"Huh, banyaknyo." Ujarku sambil menirukan logat Palembang. 

"Ayo cepat lanjutkan, kamu mau makan pempek, kan?" Aku hanya tersenyum getir ke arah Ibu. 

Tanpa kusadari, kakakku sudah berada di dapur. Suara langkah kakinya lemas sekali, mungkin karena seharian bekerja di kamar. Rambut dan bajunya berantakan, matanya hitam, dan jalannya benar-benar lemas. Sudah cocok cosplay menjadi zombie. 

Pelan-pelan dia membuka kulkas dan memasukkan satu botol kopi yang dia pesan. Americano ukuran satu liter. Aku yakin akhir pekan ini, dia juga lembur seperti biasa. Tanpa sepatah kata pun, dia kembali ke kamarnya membawa satu cup cafe latte. Aku bergidik melihatnya, kalau seandainya Zombie Apocalypse terjadi, aku yakin orang-orang seperti dia yang terkontaminasi terlebih dahulu. 

Ah sial! Aku terlalu fokus menghina kakakku sampai aku tidak sadar pempek ditanganku seperti buatan Salvador Dalí. 

"Dira, ambilkan botol kosong dari dalam kabinet!" Tanpa banyak suara, aku langsung berjalan menuju kabinet yang ditunjuk Ibu. Aku menemukan banyak botol-botol bekas yang disimpan Ibu. Apakah semua Ibu-ibu di Indonesia suka menyimpan barang-barang yang tidak penting? 

Melihat pekerjaanku yang tak kunjung selesai, Ibu memutuskan untuk membantuku. Untung saja aku dibantu Ibu, kalau tidak mungkin aku bisa begadang hanya untuk membentuk adonan pempek ini. 

Pagi harinya aku terbangun oleh teriakan kakakku. Aku yakin dia tidak tidur karena aku mendengar bunyi keyboard mekaniknya semalaman. Aku kesal sekali dengan manusia itu, sudah membuatku terjaga semalaman, dan sekarang membuat aku terbangun oleh teriakannya. 

Aku, Ibu, dan Ayah segera berlari ke arah teriakannya, "Kenapa? Ada apa?" Suara panik Ayah menambah kehebohan rumah pagi ini. Tawaku pecah melihat kakak yang sedang berdiri mematung di depan kulkas. Di tangannya ada sebotol americano yang dia beli tadi malam, atau yang dia kira awalnya americano, padahal yang dia minum adalah cuko pempek yang diletakkan Ibu di botol bekas kopi yang biasa dibeli kakak. 

 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Twenty-four

Let's Talk About Us

Aku Ingin Tertidur Pulas di Dekapanmu