Percakapan dengan Rima

Sepuluh tahun sudah Rima meninggalkan rumah. Wangi lilin aromaterapi yang mulai memudar, mug favorit Rima yang selalu ada di meja berpindah tempat ke bagian lemari paling dalam. Sudah saatnya bagi Rima untuk kembali pulang dan meninggalkan jejak baru. 

Saat itu Rima masih 22 tahun, baru lulus kuliah dan memutuskan untuk pindah ke tempat yang jauh dari Ibunya. "Aku sudah dewasa dan bisa menentukan pilihanku sendiri," adalah jawaban andalan Rima ketika ditanya alasannya merantau. 

Setiap tahun Rima pulang, tapi tak lebih dari tiga hari. Hanya sekadar numpang tidur, mandi, menyapa Ibu dan Bapak, lalu pergi lagi dengan taksi di pagi hari. Rima, tak pernah merindukan rumah sekalipun. Merindukan Ibu dan Bapak juga bukan perasaan yang dia kenal.

"Lalu, kenapa tiba-tiba kau ingin pulang setelah sepuluh tahun? Apakah ada masalah di rumah?" Aku mencicipi milkshake yang sangat kusukai sembari menunggu jawaban darinya. 

"Kau tahu kan, kalau aku dan Ibu selalu bertengkar, bahkan hal kecilpun bisa jadi masalah?" Aku mengangguk mengiyakan. Aku ingat betul bagaimana sedih dan sakitnya peraasan Rima setiap dimarahi Ibu. 

"Aku sudah menemukan cara untuk berdamai dengan Ibu." Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapannya, "Jadi, selama sepuluh tahun ini, kau mencari jawaban untuk berdamai dengan Ibumu?" 

"Tidak, aku lari dari Ibu. Aku tidak ingin hidup dalam bayang-bayang mimpinya. Namun, ketika aku lari, aku menemukan jawaban dari masalahku." Rima berhenti sejenak untuk menyeruput teh kesukaannya. "Sedari kecil, Ibu selalu memaksakan mimpinya padaku. Ibu memaksa aku untuk jadi juara kelas, berpakaian feminim seperti kesukaan Ibu, atau mengatur pola makanku agar aku badanku selalu bagus. Puncak kesabaranku habis ketika Ibu ingin aku kuliah kedokteran. Ibu yang punya cita-cita menjadi dokter, bukan aku." 

"Sekarang kau malah jadi dokter yang sukses, dan baru menyelesaikan pendidikan spesialismu. Bukannya kau harus berterima kasih kepada Ibumu?" Aku melayangkan senyum usil kepada Rima. 

Rima membalas senyumanku dengan tawa kecil, "Kau tahu, empat tahun perkuliahan kujalankan dengan berat hati. Makanya aku kabur setelah lulus. Aku tetap menjadi anak yang baik dan sesuai ekspektasi Ibu ketika di rumah. Namun, ada Rima yang berbeda ketika aku diperantauan. Rima yang seharusnya." Aku semakin tidak paham dengan arah pembicaraannya. 

Rima mengeluarkan sehelai foto yang sudah mulai menguning, "Ini Ibu ketika masih muda. Selama ini yang aku tahu, Ibu sudah dewasa dan tak pernah muda. Bagiku, Ibu hanya seorang Ibu yang kerjanya mengasuhku." 

Rima bercerita tentang Ibunya dengan tenang, tidak lagi penuh amarah seperti dulu. Rima mengingatkanku bahwa seorang Ibu, dahulunya juga pernah menjadi seorang gadis yang penuh mimpi, seorang anak yang punya cita-cita sendiri. Ibu tidak pernah langsung menjadi Ibu yang handal. Kita sering lupa bahwa menjadi Ibu adalah pekerjaan seumur hidup. 

"Setelah aku mengenal Ibu sebelum di masa mudanya, aku pun berkenalan dengan Ibu sebagai seorang istri. Bagaimana Ibu bisa memenuhi segala kebutuhan Bapak, memberikan cinta yang utuh kepada Bapak. Aku baru sadar, kalau selama ini aku terlalu egois untuk menganggap Ibu hanya hidup menjadi seorang Ibu bagiku." 

Setiap penjelasan Rima menyadarkanku. Segera aku catat dalam pikiran semua penjelasan Rima. "Lalu, langkah yang paling berat untuk aku mulai adalah menurunkan gengsiku dengan menjadi pendengar yang baik bagi Ibu. Semakin aku mendengarkan ceritanya, semakin aku memahaminya dan pelan-pelan aku berdamai dengan Ibu." Rima tersenyum dan berpesan kepadaku, "kau tidak perlu khawatir, kita melangkah pelan ke pelukan Ibu. Kau harus ingat, kalau tidak hanya aku  dan kamu yang beranjak dewasa. Ibu juga semakin tua." 

Aku semakin yakin bahwa tidak ada yang perlu aku khawatirkan. Rima di usia 32 tahun adalah bukti nyata bagiku, kalau kami akan tumbuh dewasa dengan baik. 

Comments

Popular posts from this blog

Twenty-four

Let's Talk About Us

Aku Ingin Tertidur Pulas di Dekapanmu