Rumah-rumah Ratu

Kau dibangunkan oleh belaian lembut di kepalamu. Kau lihat, Ibu tertidur di sampingmu. Seorang perempuan tersenyum padamu dan mengajakmu berjalan ke luar kamar. Entah karena sihir apa, kau yang sudah tertidur cukup lama, bersemangat untuk berjalan menghirup udara dingin di luar sana. Perempuan itu meraih tanganmu dan menuntunmu melewati pintu berwarna merah. 

"Kau siap untuk tujuan pertama kita?" Perempuan itu menatapmu, kau lihat kilauan cahaya lembut di sekitarnya. Saat pintu dibuka, yang kau lihat bukanlah lorong yang dingin. Melainkan sebuah kota yang asing dengan butiran salju memenuhi atmosfir. Anehnya, kau tidak merasa kedinginan. Walaupun baju tidurmu terlalu tipis untuk udara sedingin itu. 

"Kita di mana?" Kau memperhatikan sekelilingmu dengan seksama. Berusaha mengingat setiap kota yang pernah kau kunjungi. 

"Kita berada di lingkungan tempat tinggalmu. Tempat yang indah bukan?" 

"Tapi, di rumahku tidak ada salju." 

"Ini adalah salah satu rumah pilihanmu." Perempuan itu mengajakmu melanjutkan perjalanan. Walaupun kau masih sibuk mencerna apa maksud dari ucapannya. Kalian berjalan menuju sebuah gedung dengan pintu yang sedikit terbuka. Kali ini, kau menantikan apa yang ada di balik pintu tersebut. 

"Ini rumahmu yang lain. Di dekat pantai, kau menyukainya, Ratu?" Dia menyebut namamu, dengan sangat lembut. Selembut pasir yang kau injak. 

"Sebelum kau lahir, Tuhan memperlihatkan sebuah buku kepadamu. Apakah kau ingat tempat ini? Ada berbagai buku yang kau baca di pangkuan Tuhan. Kau menceritakan berbagai cerita sedih, penuh haru, dan menggambarkan berbagai tempat yang tergambar di buku-buku tersebut." 

Dia melanjutkan pembicaraannya sembari membuka pintu yang lain, "Seperti taman ini, kau pernah bercerita pada Tuhan bahwa Ayahmu suka berkebun. Kau pasti tidak ingat dengan taman ini. Tapi, di taman ini, terdapat rumahmu yang lain." 

"Mana mungkin ada rumah di taman seperti ini." Ujarmu tak terima dengan ceritanya. 

"Kau sungguh lugu sekali. Pantas saja Tuhan tertawa ketika kau bertanya pada-Nya bagaimana caramu mencari Ayah ketika kau sudah sampai di bumi." 

"Aku pernah bertanya seperti itu?" Nada bicaramu menunjukkan ketidakpercayaanmu dengan cerita perempuan itu. Kau lihat dia memetik sebuah bunga mawar berwarna merah muda. Mencabut helai demi helai dan menaburkannya ke tanah. 

"Ayahmu, akan sering berkunjung." Kau tidak mengerti maksud perkataannya, tapi kamu urungkan niatmu untuk bertanya ketika dia mengajakmu masuk ke pintu yang lain. Kali ini, semilir angin sejuk membelai pipimu seakan berbisik dan mengajakmu untuk berlarian di padang rumput yang terhampar luas sejauh mata memandang. 

Belum pernah kau lihat padang rumput seindah ini, dengan cahaya matahari yang terik, tapi tak menyengat di kulit. Sebuah pohon rindang tumbuh di tengahnya. Perasaan takjubmu tergambar jelas di matamu.

"Kau mau berteduh di sana?" Kau mengangguk senang kepada perempuan itu. Dia melepaskan tanganmu dan membiarkanmu berlari menuju pohon tersebut. Sesampainya di sana, kalian bersandar di batang pohon yang menjulang tinggi. Perempuan itu mengulurkan es krim kesukaanmu, "Ibu melarangku makan es krim, karena aku sakit." Ujarmu. 

"Kali ini, kau boleh memakannya. Ibu tidak akan memarahimu." Tak lupa kau berterimakasih padanya. Kau sedang menikmati es krimmu ketika perempuan itu bertanya, "Kau suka tempat ini?" Kau menggangguk dengan antusias. Mulutmu masih dipenuhi oleh es krim kesukaanmu. 

"Ratu, kau bisa tinggal di sini jika kau mau. Kau ingat perjalanan kita? Aku telah memperlihatkan beberapa tempat tinggal untukmu. Kau bisa memilih mana yang kau mau." 

"Kalau tinggal di sini, apakah aku bisa makan es krim sepuasnya?" Pertanyaanmu dijawabnya dengan anggukan. 

"Apakah aku harus pindah sekolah?" Perempuan itu membelai kepalamu, "Kau tidak perlu bersekolah, tapi kau akan punya banyak teman-teman baru. Kau mau?" 

Kau paham betul ajakan perempuan itu sangat menggodamu. Teman-teman baru, makan es krim kapan pun kau mau. Kau tidak mungkin menolak, "Ibu ikut kan?" Kau bertanya dengan perasaan yang mulai kalut. 

"Ibu dan Ayah akan menyusul nantinya." 

Kau terdiam sejenak. berpikir keras apakah kau benar-benar ingin tinggal di sini atau kau kembali ke ruangan dingin yang sudah kau tinggali lebih dari tiga bulan. "Adik-adikku boleh ikut?" Suaramu mulai parau, mengingat sudah lama kau tak bermain dengan adik-adikmu. 

"Mereka akan menyusul juga nantinya. Kau masih bisa bermain dengan mereka hingga mereka sudah cukup dewasa untuk berteman dengan orang lain." Perempuan itu berdiri dan mengulurkan tangannya, "Ayo kembali sebelum Ibumu bangun." Perasaanmu sedikit sedih meninggalkan tempat yang indah dan tenang ini. 

Kali ini, kau sudah berada di samping tempat tidurmu. Kau datangi Ibumu dan kau peluk dia. "Kalau aku pergi, apakah Ibu tidak perlu menungguku di ruangan yang sangat dingin ini?" Perempuan itu, mengangguk pelan. "Ibu, bisa pulang dan bertemu adik-adik dan Ayah?" Perempuan itu mengangguk mengiyakan pertanyaanmu. 

"Aku tidak perlu menggunakan selang-selang ini lagi?" Kau berhenti sejenak dan menatap dirimu yang sedang tertidur pulas. 

"Apakah rambutku akan tumbuh lagi?" Perempuan itu kembali mengangguk dan mengulurkan tangannya kepadamu. 

"Ratu, apakah kau ingin tinggal di rumah abadimu?" Kau mengangguk dan melepaskan pelukanmu. 

Kau tidak hanya melepaskan selang-selang yang mereka pasang di kepalamu. Namun, kau juga melepaskan napasmu. 




----------

Untuk yang tersayang Ratu, sudah makan es krim apa hari ini? 

Comments

Popular posts from this blog

Twenty-four

Let's Talk About Us

Aku Ingin Tertidur Pulas di Dekapanmu