Malam ini kita bertemu di sebuah cafe di daerah Dago Pakar, Bandung. Ditemani dengan udara yang dingin, pemandangan Kota Bandung dan lampu-lampunya yang seperti kumpulan bintang. Setiap lima menit sekali aku mengulang kata “cantik” untuk memuji pemandangan yang Tuhan berikan pada kita malam ini.
Tuhan baik ya, memberikan hiburan melalui indera penglihatan kita ketika perasaan kita berkecamuk. Kau dengan badai di aliran darahmu, dan aku dengan beban seberat gajah di jantungku. Tuhan Maha Baik memberikan kita waktu untuk berbicara sekali lagi, melontarkan setiap cerita lama yang mencekik leher kita. Semua ucapan kita terangkum dalam tegukan teh panas dalam tea pot berwarna putih.
Apakah ini akhir dari segala kata pengantar yang aku susun sedemikian rupa hingga kau paham dengan segala latar belakang dan alasan-alasanku? Mungkin di setiap perjumpaan memang ada perpisahan yang entah mengapa, tangan kita tak berhenti melambai. Atau kaki yang tak kunjung beranjak di saat waktu makin bergerak maju. Akankah lambaian tangan kita berhenti nantinya? Atau malah kaki kita kembali bergerak menuju satu sama lain seakan tak ingin dipisahkan?
Setiap pertanyaan dalam benakku, tak kunjung kutanyakan padamu karena mulutku tertutup rapat. Bahkan ketika cangkir teh yang telah kita minum telah kosong dan sudah waktunya kita untuk pulang. Aku masih tak bisa berbicara.
Comments
Post a Comment