Kopi, Cinta, Dilema

Terima kasih atas '3 katanya @Gmbd_ (instagram)


Aku melangkah masuk ke dalam kedai kopi itu. Semerbak wangi biji kopi merasuki hidungku. Meninggalkan jejak di pikiranku. Lama sudah aku tak menghirup bau yang pernah menjadi adiksi bagiku. Terlalu banyak kenangan, terlalu sedikit waktu untuk mengenang.

Ingatan tentang Bapak, wangi rumah di pagi hari, deretan toples bening berisi kopi. Semuanya telah tiada. Terkubur bersama jasad Bapak dan cintanya akan kopi. Aku pun tak pernah memahami kopi. Seberapa sering Bapak memintaku untuk mencicipinya, aku selalu menghindar. Tak ada kesenangan dalam pahitnya kopi. Tak ada imajinasi dalam pekatnya.

Aku sendiri lebih memilih teh. Teh adalah minuman favoritku. Sebut saja segala jenis rasa teh padaku, maka aku bisa mendeskripsikan rasanya sedetail mungkin. Jika kau bertanya apa rasa favoritku, aku tidak bisa menjawab pasti. Aku akan menjawab Mint Citrus di teriknya siang dan ramainya orang berkumpul di kedai kopi ini. Jika kita sedang bercengkrama di temaram kafe dengan udara dingin menusuk tulang, aku akan menjawab peppermint. Bahkan di kedai kopi ini aku selalu memesan teh.

Sebelum Bapak pergi, aku selalu dilema memilih teh atau kopi. "Sudahlah, kamu coba dulu kopinya. Bapak sarankan, Caramel Macchiato." Ujar Bapak.

"Tapi aku takut tidak suka Pak." Jawabku.

"Tak masalah, yang penting sudah mencoba."

Begitulah percakapanku bersama Bapak setiap kali kami ke kedai kopi ini. Namun sekarang hanya tinggal bayangan masalalu dan derai tawa Bapak yang terdengar samar.

"Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" Suara di depanku membuyarkan bayangan bapak menyeru-nyeru namaku di meja di sudut tempat ini,

"Satu min...uhm..Caramel Macchiato." Jawabku untuk pertama kalinya.

Untuk Bapak, selamat ulang tahun. Ini adalah hadiahku untuk Bapak. Mencoba mencintai apa yang dulu adalah dunianya.

pinterest

Comments

Popular posts from this blog

Twenty-four

Let's Talk About Us

Aku Ingin Tertidur Pulas di Dekapanmu