Filosofi Kabut
Naskah ini merupakan cerpen yang saya buat ketika mengikuti lomba menulis cerpen yang diadakan oleh Universitas Andalas bulan Desember 2015 lalu.
Selamat Membaca :)
Filosofi Kabut
Aku
mendapatkan sebuah pelajaran yang berarti dari Pak Mursal. Seorang tuan tanah
yang memiliki hampir sepertiga tanah di kampung kami. Saking luasnya, Pak
Mursal membutuhkan sepuluh orang buruh tani untuk mengerjakan sawahnya. Tidak
dapat dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat kampung kami mendapat
pekerjaan yang layak dari Pak Mursal. Beliau adalah orang yang dermawan tetapi
seringkali dibodohi oleh Mang Ijal, yang menjabat sebagai lurah di daerah kecil
ini,
Kata
Mang dalam nama Mang Ijal bukanlah sebuah panggilan, tetapi singkatan namanya.
Kerap kali orang menyingkatnya karena nama lengkapnya yang terbilang unik,
Sutamang Ijal. Diawali dengan guru Bahasa Indonesia di SD dekat surau dahulu
sering memanggilnya Mang Ijal ketika mengambil absen, semenjak itulah ia
dipanggil dengan sebutan Mang Ijal.
Tidak
hanya Pak Mursal dan Mang Ijal, kampung kami juga memiliki suasana yang
membingungkan, cuacanya menipu mata kami sudah hampir tiga bulan lamanya.
Terkadang kami sulit membedakan malam dan siang. Matahari sudah lama tak
muncul, mungkin sang raja langit itu resah dengan kelakuan Mang Ijal yang tak
pernah absen mengelabui Pak Mursal untuk sebungkus rokok. Suatu pagi aku
berjalan ke warung untuk membeli teh, aku tak dapat membedakan langit
kampungku, entah masih gelap seperti subuh atau sudah seharusnya terang seperti
siang.
Kampung
kami dikenal dengan sebutan kampung di atas awan, bukan karena keindahan awan
berwarna putih kapas yang melindungi petani ketika disengat teriknya sinar
mentari. Kampung ini bukanlah tanah surga seperti yang dinyanyikan Koes Plus.
Sudah
setahun lamanya aku merantau ke tanah Jawa untuk kuliah dengan bantuan
beasiswa, orang tuaku tak akan mampu menyekolahkanku jika bukan karena beasiswa
ini. Suatu kali ayah berkata,”Bujang, kau satu-satunya harapan ayah, jangan
berhenti belajar dan capai cita-citamu, boi.” Ayahku terkadang memanggilku boi,
katanya itu panggilan pemuda di kampung kelahirannya di Tanjung Pandan. Aku
mengangguk setuju dan berjanji di dalam hatiku untuk membanggakan ayah dan ibu.
Sudah
hampir seminggu lamanya aku tinggal di kampung, bukan karena aku di drop out seperti Mang Ijal, tetapi ibu
mengabarkan kepadaku bahwa ayah sedang sakit di rumah dan tak ingin makan. Aku
merasa jenuh di kampung tanpa melakukan apa-apa sehingga aku memutuskan untuk
bekerja dengan Pak Mursal di rumahnya membersihkan kandang sapi atau memperbaiki
lampu. Setidaknya uang ini bisa kugunakan untuk keperluanku saat kuliah nanti,
walaupun tidak banyak.
“Tang,
ikut denganku ke kota membeli pupuk.” Perintah Pak Mursal sembari memasang topi
cowboy-nya.
“Baiklah,
Pak.” Aku mengikuti Pak Mursal menuju mobil pick
up tua
Pak Mursal melemparkan kunci mobilnya kepadaku,”Tapi Pak,
Atang belum pernah mengendarai mobil.” Aku tergagap melihat sebuah kunci di
tanganku.
“Tak perlu berbohong kau padaku, aku tahu teman-temanmu
pasti memaksamu untuk belajar mengendarai mobil. Kau pikir aku mengajakmu ke
pasar untuk membelikanmu mainan, eh?” Pak Mursal menyunggingkan senyumnya
padaku. Aku berkendara sekitar dua puluh kilometer, ditambah dengan jalan
berlubang-lubang yang memperlambat gerak mobil tua ini.
Saat melintasi jalanan kota, di kiri dan kanan jalan
terpampang banyak selebaran.
Mana udara bersih
kami?
Dunia dalam kabut.
Seperti itulah tulisan yang terpampang dengan jelas pada selebaran
itu, di sampingnya ada gambar seorang manusia yang mengenakan masker dengan
pohon yang hangus terbakar di belakangnya. Aku baru sadar akan keadaan ayah,
ayah mengalami infeksi saluran pernapasan atau ISPA, sudah bolak-balik aku ke
puskesmas menjemput obat ayah. Ayah adalah perokok berat, hal tersebut malah
memperburuk ayah.
Pak Mursal memerintahkanku untuk memarkirkan mobil di
depan sebuah toko yang menjual berbagai macam pupuk. Pak Mursal memasuki toko
dan aku mengikutinya, pada saat itulah handphone
milikku yang ketinggalan jaman berdering. Sebuah panggilan dari teman kuliah.
“Halo?” aku mulai bericara.
“Atang, bagaimana kabar kampungmu? Masih berkabut kah?” Suara
diseberang sana balik bertanya.
“Yah, begitulah Ri, hujan tak turun-turun makin parah lah
keaadan di sini.” Aku menjelaskan.
“Jadi begini Tang, rencananya organisasi kita akan
memberikan bantuan berupa penyuluhan dan masker gratis untuk daerah di Sumatra,
aku dan beberapa teman yang lain ditugaskan di Sumatra Barat. Bagaimana kalau
kita ke kampungmu?” Fahri menjelaskan tentang jadwal kegiatan yang akan
dilaksanakan kampusku. Aku sangat setuju tentunya.
Pak
Mursal mengajakku minum di kedai kopi langganannya di kota. “Sudah pernah
menonton film ‘Filosopi Kopi’ Tang?” Pak Mursal bertanya ketika kami menantikan
pesanan kami.
“Eh,
sudah Pak.” Aku menjawab singkat, Hebat
juga Pak Mursal tahu tentang film-film anak muda jaman sekarang. Batinku
berkata mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Pak Mursal. Kopi yang kami
pesan sudah datang, ketika aku hendak mencicipinya Pak Mursal berkata, “Jangan
langsung diminum, pasti tidak enak. Rasakan pahitnya, hirup aromanya, dan
rasakan enaknya.” Aku tersenyum mendengar Pak Mursal, beliau mengutip sebuah
pembicaraan dari film yang baru saja kami bicarakan. “Kau tahu tentang ‘filosofi
kabut’ Tang? Kabut itu menyembunyikan pelakunya, dan nantinya kau akan
menyalahkan oknum yang seharusnya bertanggung jawab. Akan tetapi kau melupakan
sesuatu yang disembunyikan oleh kabut itu. Bisa jadi kaulah yang berada di
balik kabut itu, bersembunyi dibalik tebalnya.” Aku tak sepenuhnya paham atas apa
yang beliau sampaikan.
Pikiranku
menimbang-nimbang, apa maksud dari filosofi kabut yang baru saja disampaikan
oleh Pak Mursal? Ingin rasanya aku bertanya langsung kepada Pak Mursal ketika
perjalanan pulang, tetapi aku urungkan niatku. Aku tidak ingin Pak Mursal
menganggapku sebagai mahasiswa bodoh yang tidak bisa menganalisa sebuah
filosofi.
Sepulang
dari kota, ayah menyuruhku untuk membersihkan halaman rumah, awalnya aku
keberatan karena terlalu lelah, tetapi ayah memaksaku. Ayah sedang duduk di
teras memperhatikanku, aku memaksa ayah mengenakan masker, tetapi ayah tidak
mau, ayah sedang merokok terkadang terbatuk tetapi tetap melanjutkan hisapannya
dan aku membiarkannya. Aku termangu melihat kepulan asap dari sampah yang aku
bakar dan asap rokok yang meliuk-liuk di atas kepala ayah. Aku masih belum
paham apa maksud Pak Mursal tadi.
***
Aku
sedang tertidur ketika ibu membangunkanku,”Tang, Atang! Bangun nak, Bapakmu
Tang!” Ibu mengguncang badanku.
“Ada
Apa Bu?” Aku menjawab dengan suara lemah menahan kantuk.
“Bapakmu
tak berhenti batuk-batuk.” Ibu menjawab dengan cemas, aku berlari menuju kamar
ayah dan melihat bercak darah di mulut dan baju yang ayah kenakan. Melihat ayah,
aku langsung berlari menuju rumah Pak Mursal hendak membawa ayah ke rumah sakit.
Tidak butuh waktu lama, sekarang Aku telah berada di perjalan menuju rumah
sakit di kota dengan Pak Mursal di bangku pengemudi dan ayah terkulai lemas di
tengah-tengah kami.
Ketika
berada di rumah sakit, ayah harus diinfus dan menjalankan rawat inap hingga
keadaannya membaik, dokter mengatakan bahwa ayah terlalu banyak merokok dan
kabut asap yang sedang terjadi memperparah keadaan paru-paru Ayah. Pemerintah
macam apa yang membiarkan penduduknya sengsara dengan bencana ini? Ada sekelebat amarah yang membakar diriku.
***
Aku
dibangunkan oleh dering teleponku, aku baru sadar bahwa aku sedang berasa di
rumah sakit, Pak Mursal pamit pulang setelah subuh tadi. Aku melihat sebuah
pesan masuk. Temanku sudah berasa di kampung, baru aku sadari bahwa ibu sudah
ada di dalam ruang rawat dengan sebuah tas berisi pakaian ayah. Ibu menyuruhku
pulang untuk menemui teman-temanku sekalian menjaga adik-adikku. Aku pulang
dengan angkutan umum.
“Tang,
bagaimana kalau kamu yang membuka pertemuan?” Fahri menawariku.
“Baiklah
kalau begitu, apa saja materi yang akan kita sampaikan Ri?” Aku kembali
bertanya kepada Fahri.
“Saat
ini, masih banyak penduduk yang membakar sampah dan jerami padahal kabut asap
belum reda. Kegiatan yang kebanyakan dilakukan oleh petani ini akan memperburuk
persediaan udara bersih. Selain itu bagi pecandu rokok, asap rokok yang mereka
hirup akan memperburuk kesehatan mereka ditambah lagi untuk perokok pasif
seperti anak-anak dan ibu-ibu hamil yang tinggal di sekitar perokok aktif.
Kesehatan mereka akan terancam jika mereka tidak menggunakan masker ketika
berada di luar ruangan atau di dekat perokok. Oh iya, bagaimana kabar Ayahmu?”
Fahri menjelaskan dengan panjang lebar. Aku hanya termangu, mengingat apa yang
aku lakukan. Membakar sampah, dan membiarkan Ayah mengirup racun yang hampir
saja membunuhnya. Aku baru sadar tentang filosofi kabut yang diceritakan oleh
Pak Mursal tempo hari. Selama ini aku berada dibalik kabut dan disembunyikan
oleh tebalnya kabut. Terkadang kita menyalahkan orang lain atas apa yang kita
kerjakan.
Comments
Post a Comment