Kado Untuk Ibuk
Beberapa saat yang lalu, saya meminta teman-teman di Instagram untuk memberikan saya satu kalimat yang nantinya akan saya kembangkan menjadi sebuah cerita.
Berikut ini satu kalimat dari Kak Ikhwan (@ikhwanhardiman)
"Budi kecil kuyup menggigil, menahan dingin tanpa jas hujan di simpang jalan Tugu Pancoran sambil menjajakan koran"
Macet. Jalan mana yang masih tampak aspalnya pada sore ini. Semuanya dipenuhi oleh kendaraan yang bergegas pulang, tapi tak bisa bergerak. Pekikan klakson dan deru amarah penghuni ibu kota tak henti-hentinya bertaut-tautan. Seakan-akan kekesalan mereka akan memberi celah untuk mereka bergerak. Yang ada hanya memperkeruh genangan air yang mulai meninggi.
Lampu-lampu jalan mulai membiaskan cahayanya. Menerangi sosok kecil kurus kering. Namun kini ia tak lagi kering. Mereka memanggilnya Budi, putus sekolah, tapi tak pernah berhenti belajar. Si Budi kecil kuyup menggigil, menahan dingin tanpa jas hujan di simpang jalan Tugu Pancoran sambil menjajakan koran.
Itulah Budi, kecil, kurus kering dan putus sekolah. Pekerjaannya, menjajakan koran. Ia senang dipanggil paper boy. Panggilan itu ia dapatkan dari seorang bule yang pernah membeli korannya. Walaupun Budi kecil menggigil kedinginan senyumnya tak pernah luntur. Pak Sakirman, seorang juru parkir sudah berkali-kali menyuruhnya pulang. Namun, dengan girang Budi menjawab,"Nanti saja Pak, kalau koran sudah terjual semuanya."
"Besok kan bisa jualan lagi Budi." Ujar Pak Sakirman.
"Besok Ibuk ulang tahun. Ini uang untuk beli kado buat Ibuk."
Pak Sakirman hanya geleng-geleng melihat keteguhan hati si Budi kecil. Sedangkan di kepala Budi yang terbayang bukan macetnya jalanan, atau dinginnya rintik hujan saat itu. Akan tetapi, sehelai daster lusuh di pasar loak untuk kado ulang tahun Ibuk.
Berikut ini satu kalimat dari Kak Ikhwan (@ikhwanhardiman)
"Budi kecil kuyup menggigil, menahan dingin tanpa jas hujan di simpang jalan Tugu Pancoran sambil menjajakan koran"
Macet. Jalan mana yang masih tampak aspalnya pada sore ini. Semuanya dipenuhi oleh kendaraan yang bergegas pulang, tapi tak bisa bergerak. Pekikan klakson dan deru amarah penghuni ibu kota tak henti-hentinya bertaut-tautan. Seakan-akan kekesalan mereka akan memberi celah untuk mereka bergerak. Yang ada hanya memperkeruh genangan air yang mulai meninggi.
Lampu-lampu jalan mulai membiaskan cahayanya. Menerangi sosok kecil kurus kering. Namun kini ia tak lagi kering. Mereka memanggilnya Budi, putus sekolah, tapi tak pernah berhenti belajar. Si Budi kecil kuyup menggigil, menahan dingin tanpa jas hujan di simpang jalan Tugu Pancoran sambil menjajakan koran.
Itulah Budi, kecil, kurus kering dan putus sekolah. Pekerjaannya, menjajakan koran. Ia senang dipanggil paper boy. Panggilan itu ia dapatkan dari seorang bule yang pernah membeli korannya. Walaupun Budi kecil menggigil kedinginan senyumnya tak pernah luntur. Pak Sakirman, seorang juru parkir sudah berkali-kali menyuruhnya pulang. Namun, dengan girang Budi menjawab,"Nanti saja Pak, kalau koran sudah terjual semuanya."
"Besok kan bisa jualan lagi Budi." Ujar Pak Sakirman.
"Besok Ibuk ulang tahun. Ini uang untuk beli kado buat Ibuk."
Pak Sakirman hanya geleng-geleng melihat keteguhan hati si Budi kecil. Sedangkan di kepala Budi yang terbayang bukan macetnya jalanan, atau dinginnya rintik hujan saat itu. Akan tetapi, sehelai daster lusuh di pasar loak untuk kado ulang tahun Ibuk.
Semoga budi bisa kembali sekolah. Agar kelak dapat meralat nasib sang ayah.
ReplyDeleteAamiin doakan saja ya Bang Boy
DeleteAAAA AKU SUKAKK
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTHANK YOUUUU
Delete