Katakan Pada Abangmu

Pertemuan ini tidak direncanakan, aku bahkan tidak  berharap untuk bertemu dengan seseorang yang akan menarik perhatianku. Kecantikannya memang patut diacungi jempol. Namun, aku tidak akan tertarik kepadanya sebelum aku tahu seberapa pintar dia. Aku memang penggila ilmu, dengan IQ 139 yang aku miliki tentu menjadikanku seorang lelaki yang menganggap perempuan pintar itu seksi. Perempuan yang seringkali merajuk dan mencari perhatian dengan “pura-pura manja” bukanlah tipeku.
Aku sedang duduk sendirian sambil bercengkrama dengan sepupu-sepupuku. Hal ini sebenarnya jarang kulakukan, tapi karena aku sudah lama tidak pulang, tentu saja aku merasa rindu dengan keluarga besarku. Hari ni adalah hari yang membahagiakan bagi kakak tertuaku, bagaimana tidak hari ini pesta pernikahannya berlangsung. Aku baru sampai di rumah kemarin malam sehingga aku tidak bisa menikmati kota masa kecilku ini, bahkan untuk bertemu teman lama, biarlah pikirku nanti juga bertemu.
Adikku yang merupakan anak bungsu dari ayah dan ibuku mengajak teman-teman dekatnya menghadiri pesta pernikahan ini, ibuku dengan senang hati membelikan mereka baju seragam karena ibu memang terkenal dekat dengan mereka, begitu cerita adikku.
Teman-teman adikku baru datang tidak lebih dari sepuluh menit yang lalu, dan aku awalnya tidak memperhatikan mereka karena mereka memang jauh lebih muda dariku. Menurut hipotesis awalku berhubung jarak aku dan adikku terpaut lima tahun. “Anak kecil” bukanlah tipeku, yang mencari seseorang yang dewasa. Hingga mataku terpaku pada salah seorang teman adikku yang tinggi, namum tidak sekurus model-model di televisi. Bisa kubilang, badannya proporsional untuk usianya. Wajahnya tidak menggambarkan wajah gadis yang baru lulus SMA, aku tidak mengatakan ia berwajah tua, tapi ada raut kedewasaan dari cara ia tersenyum dan bercengkrama dengan orang lain.
Saat itu, ia sedang membaca buku yang masih aku terka judulnya. Setelah kuperhatikan lebih jelas, rasa penasaranku padanya semakin besar. Ia membaca buku tentang Tan Malaka yang berjudul “Tan Madilog” cukup berat ternyata. Ataukah ia hanya seorang pecinta sejarah? Tentu saja aku membandingkan pilihan bukunya dengan buku-buku yang menjadi asupan vitaminku selama ini, aku yang biasanya mencicipi Sherlock Holmes, Harry Potter dan bahkan buku yang cukup tua sekalipun merasa menemukan belahan jiwaku jika seorang perempuan membaca buku yang cukup berat. Novel-novel tentang percintaan remaja tentunya hanya sekadar pelepas lelah dan bukan prioritasku sebagai pecinta sastra.
“Dek!” aku memanggil adikku itu sedikit berteriak yang ditahan.
“Apa?” ujarnya malas, kurasa ia terganggu dengan panggilanku.
“Tanya sama temanmu, memangnya dia paham dengan buku yang dia baca?” perintahku
“kenapa tidak Abang saja yang bilang? Aku lagi sibuk!” Saat ini dia terdengar kesal.
“Cepatlah, nanti Abang  traktir.” Rayuku.
Dia berjalan gontai, menuju meja teman-temannya. Kali ini kulihat dia berbisik di telinga perempuan yang sedari tadi kuperhatikan. Dia kembali menghampiriku. Dia lalu menyampaikan jawaban yang kutunggu-tunggu.
“Katanya, IQ nya 140 tentunya dia paham dengan apa yang dia baca.” Ternyata dia paham maksudku. Aku semakin tertarik dengannya.
“Katakan padanya, kalau IQ-nya 140 tentunya dia bisa menghapal nomor teleponnya kan?” Aku kembali menyuruh adikku, “Oh iya, katakan juga padanya, kalau IQ-140 itu menarik buat Abang.”
“Kenapa tidak Abang saja yang bilang?” Rengek adikku, aku kembali merayunya dengan traktiran dan kali ini dua kali lipat. Dia akhirnya menurut.
Adikku kembali berjalan ke arah temannya. Kali ini kulihat temannya tertawa, manis sekali dan aku berharap bisa mendengar tawanya dari dekat. Atau setidaknya tertawa bersamaku. Kali ini adikku ikut tertawa setelah perempuan itu membisikkan sesuatu padanya. Aku semakin tidak sabar mendengar apa yang dia katakan.
Adikku kembali berjalan menghampiriku, kali ini dengan senyuman yang bisa kutaksir sedikit jahil. Aku semakin penasaran.
“Apa katanya?” Desakku.
“Dia menyuruhku menyampaikannya begini.” Ujarnya. Setelah mengambil napas, adikku melanjutkan ucapannya, “Katakan pada Abangmu, kalau ia tertarik dengan seseorang yang tidak menyuruh Adiknya menjadi kurir pesan.” Kali ini adikku tertawa dan kualihkan pandangannku pada perempuan itu, ia juga tertawa bersama teman-temannya.

Kali ini, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan. Aku kalah telak.


Comments

Popular posts from this blog

Twenty-four

Let's Talk About Us

Aku Ingin Tertidur Pulas di Dekapanmu