Memimpikan Pagi
Bagian kedua
“a… aku tidak bisa. Tidak! Aku
sudah memiliki mimpi besar di depan mataku Pagi, aku tidak punya waktu untuk
permainan seperti ini.” Sulit bagiku untuk mengatakannya tetapi aku tidak ingin
ada yang menghambatku menggapai mimpiku. Aku berjalan ke arah ibu dan Paman
Mulyadi yang sedang bercengkrama.
Tidak lama setelah itu, aku sedang
menikmati langit pagi yang mengantarku ke Frankfurt, pesawatku akan berhenti di
sana sebelum menuju ke negeri Paman Sam. Aku teringat kembali dengan perkataan
Pagi beberapa jam yang lalu, aku berharap dapat melupakannya ketika aku berada
di ketinggian, bahkan pemandangan langit yang cerah pun makin mengingatkanku
akan Pagi.
Tidak!
Jangan lembek Langit, kamu akan berjumpa dengan empat pagi berbeda dalam satu
tahun ke depan. Ada pagi di musim panas, pagi musim gugur, pagi musim dingin,
dan pagi di musim semi saat dirimu akan bertemu dengan Pagimu. Kau
merindukannya bukan?
Aku tidak tahan dengan perasaanku,
kalut. Aku mengira akan merasa lega setelah aku menolaknya mentah-mentah,
memperlihatkan kepadanya bahwa diriku tidak akan pernah menyukainya. Aku
merasakan bulir hangat mengalir di pipi kananku. “Baru juga berangkat sudah
nangis, dasar manja.” Fajar mengejekku seraya mengacak rambutku. “Diam kamu!”
aku melototkan mataku kepadanya.
***
Banyak hal yang berlalu-lalang di
kehidupanku selama di sini, mulai dari diriku yang merasakan salju pertamaku,
teman-teman baru yang aku miliki, hingga Fajar yang menyatakan perasaannya
padaku. “Banyak gadis yang jauh lebih baik dariku, kenapa kamu masih menyukaiku.”
Ujarku setelah dia mengutarakan perasaannya layaknya orang berpidato di depan
kelas.
“Karena kamu bisa membuatku
merasakan hal yang berbeda, Langit.” Fajar menggenggam tanganku. Kosong, aku
tak merasakan apa-apa. Tidak ada rasa hangat yang menjalariku seperti ketika
Pagi menggenggam tanganku. Aku tidak merasakan getaran seperti saat Pagi
memandangku.
“Maafkan aku Fajar, aku tidak akan
mengatakan hal klise seperti ‘kau
terlalu baik untukku’ Tapi, aku memang tidak menyukaimu layaknya kekasih.” Aku
berlalu meninggalkannya.
Aku merasa jahat, dengan
meninggalkan dua orang yang menyayangiku, tetapi aku tidak ingin bermain dengan
api. Menciptakan rasa yang sebelumnya tidak pernah ada dan tersakiti dengan
kenyataan yang pahit di ujungnya.
Pagi
Tujuh
bulan, delapan bulan, sudah hampir Sembilan bulan aku tidak bertemu dengannya.
Betapa aku merindukan tatapan hangat gadis itu, dia membuatku tergila-gila. Aku akan menghubunginya. Terdengar nada
sambung dan suara yang kurindukan itu bergema di telingaku.
“Halo
Senja, apa kabar? Sibukkah?” aku berbasa-basi
“Tidak
juga, tapi aku capek, baru pulang sekolah.” Aku mendengar balasannya dengan
suara lucu menahan kantuk. Inilah kebiasaannya semenjak di Amerika, Senja
sering tertidur di sore hari dan aku dengan senang hati memarahinya. Tiba-tiba dia terdiam, setelah mengoceh
tentang kelas dan pelajarannya hari ini.
“Aku
akan pulang, awal Juli nanti.” Akhirnya gadis itu mengeluarkan suara.
“Apakah
kamu sedih meninggalkan impianmu?” Aku bertanya padanya.
“Tidak
Pagi, mimpiku telah tercapai dan sudah waktunya aku mencari mimpi baru.
Entahlah, terkadang aku merasakan kekosongan di sini.” Jawaban Senja di luar pikiranku, aku
beranggapan dia akan merasa sedih meninggalkan mimpinya, bahkan aku melihat dia
begitu bahagia dengan teman exchange-nya
di instagram Senja. Aku cemburu.
Senja
Aku
sedang berkemas untuk kepulanganku ketika aku menemukan sebuah bungkusan
plastik di bagian paling bawah koperku. Ibu melarangku membukanya sebelum
persiapanku kembali ke Indonesia. Aku rasa sekarang aku bisa membukanya. sebuah
jaket, dari baunya yang samar-samar aku mengetahui pemiliknya. Langit
Dirgantara, dialah pemilik jaket ini, Pagiku yang tak dapat aku gantikan dengan
pagi musim dingin, ataupun pagi di musim lainnya.
Aku
menemukan secarik kertas di dalam kantong sebelah kiri jaket berwarna merah
ini. Ketika akan membacanya Mom
memanggilku untuk makan malam. Makan malam kali ini penuh haru dan tawa. Mom dan Dad kembali mengingat kekonyolan yang aku lakukan di sini. Kami
tertawa sembari mengeluarkan air mata. Tahukah kau, bahwa perasaan seperti ini
adalah perasaan paling bahagia dan momen tersedih dalam satu waktu. Akupun tak
dapat menjelaskannya lebih spesifik.
***
Saat
ini aku sedang berada di bandara dengan host
family-ku dan juga teman exchange
yang lain beserta keluarga angkat mereka. Fajar selalu di dekatku, terkadang
merangkulku memperlihatkan kehangatan seorang sahabat bagiku, tapi aku tak tahu
apa artinya bagi dirinya. Kami mengucapkan salam perpisahan, mom bahkan tak henti-hentinya menangis
melihatku akan pergi, aku berjanji akan segera kembali keAmerika dan
mengunjunginya. Aku akan terbang melintasi langit Amerika dan bertemu Langit
ku.
Pagi
Hari
ini aku akan bertemu dengannya, Senja yang selama ini aku nantikan setelah
sekian lama aku melalui senja kelabu. Hari ini, senjaku berwarna merah
keunguan. Aku menunggu di kerumunan manusia yang berharap sama denganku,
menantika orang-orang yang mereka rindukan. Apakah
Senja juga merindukanku? Batinku
bergemuruh seperti pertama kali aku menyatakan perasaanku padanya setahun yang
lalu.
Aku tak
melepaskan pandanganku ke arah pintu keluar penumpang, walaupun hanya satu
detik. Seorang gadis dengan koper hampir sebesar tubuhnya melihatku, dengan
tatapan yan entah sejak kapan aku merindukannya. Dia berjalan menghampiriku,
berlari kecil, dan sekarang ia berada di pelukanku. Aku tahu persis seperti di
film-film yang sering aku remehkan, karena terlalu dramatis. Bahkan aku baru
menyadarinya sekarang bahwa drama adalah bagian dari hidupku, dan perempuan
yang berada di pelukanku adalah penyebabnya.
Dia
melepaskan pelukannya dan menatap mataku dalam dengan mata coklat mudanya, “Aku
pulang dan menemukan mimpi baruku” Dia berkata.
“Senjaku
jadi berwarna lagi, karena kepulanganmu.” Ucapku sembari mencubit hidungnya. Ia
tergelak, “Kau mengenakan jaketku, apakah kau membaca kertas di dalamnya?”
“Tentu
saja, aku adalah Zorro mu yang pulang mengenakan jaket orang yang paling
kurindukan.”
Ia tersenyum kepadaku, betapa aku tidak ingin senyum itu
berakhir. Jaket yang ia kenakan, sengaja aku berikan pada ibunya untuk dibawa
Senja ke Amerika, aku memasukkan selembar kertas ke dalamnya.
Jika kau merindukanku, pakailah jaket ini di
hari kepulanganmu ke Indonesia.
Senjaku,
merindukan Pagi sepertiku, aku bertanya padanya,”Jadi, apa mimpi yang kau
temukan, apakah kita harus berpisah lagi untuk mimpimu yang ini?”
“Tidak,
mimpiku sedang berdiri di hadapanku, di saat aku mewujudkan mimpiku, aku
mendapati bahwa mimpiku selanjutnya telah menggenggamku sebelum aku
menyadarinya. Mimpiku adalah Langit Dirgantara.” Matanya berkaca-kaca
memperlihatkan kebahagiaan, akupun mendekapnya erat.***
Comments
Post a Comment