Memimpikan Pagi

Senja
                Aku harus melewatkan tidurku agar bertemu dengannya, tetapi terkadang malam tak kunjung surut. Suatu kali aku dibangunkan oleh cicitan burung gereja, tetapi Pagi mulai beranjak pergi. Di lain sisi, Pagi juga menghabiskan siangnya agar bertemu denganku. Sebuah Senja penuh warna di ufuk barat. Tetapi Senja tak selalu datang berwarna jingga, atau bahkan ungu kemerahan di terpa sinar mentari. Terkadang Senja membawa awan kelabu yang membuat Pagi diam tak berkutik. Cukuplah waktu yang memisahkan Pagi dan Senja.
                Namaku Senja, setidaknya begitulah ia memanggilku. Ia berkata, aku menarik seperti langit senja. Ia mengatakan tak pernah bertemu senja seindah diriku, dia memang tukang gombal, tetapi pipiku seringkali memerah karenanya. “Halo Senja, apa kabar? Sibukkah?” Ujar suara di seberang sana.                           “Tidak juga, tetapi aku capek. Baru pulang sekolah.” Ujarku dengan suara mengantuk.
                “Jangan bilang kamu mau tidur sore lagi, tidak baik untuk kesehatan.” Sepertinya aku tidak dapat mengelak dari perkataannya. Pagi benar, tidur di sore hari memang tidak sehat.  Aku harus mencari kesibukan lain agar aku terjaga, atau setidaknya Pagi sudah membuatku terjaga dengan humor yang baru saja dilontarkannya.
                Namanya Pagi, begitulah aku memanggilnya. Ia sedingin angin pagi, tetapi ketika kamu berhasil menjangkaunya, ia akan sehangat mentari pagi yang menenangkan. Aku cukup beruntung menemukan hangatnya di antara tatapan dingin yang seringkali ia berikan.  Siapa yang tidak menyukai pagi sepertinya.
                Aku sedang berada di negeri entah berantah,  terkadang lupa akan apa yang aku lakukan di sini, tanpa Pagi. Sepertinya aku kehilangan semangat pagi, tanpa sosoknya di sampingku. Ini bukanlah hal yang baru bagi ku, aku dan Pagi memang terpisah oleh jarak dan waktu. Bahkan samudera pun harus kami lalui agar bisa bertemu. Sudah hampir satu tahun lamanya aku berada di sini. Entahlah aku lupa dimana diriku yang sebenarnya. Aku merindukan sapaan jahilnya yang seringkali menggodaku ketika aku menikmati sore ku di bangku taman.
                Aku pernah bertengkar hebat dengannya. Bukan sekedar riak di sungai, tetapi badai yang menghantam laut hingga ke muara. Jika aku bisa memilih, aku berharap dapat dipertemukan kembali dengan Samudera.  Sesosok raga yang menghanyutkan, setenang air di tengah samudera. Akan tetapi ia  layaknya mata air yang mengalir mengikuti arus. Aku mencintai ketinggian, hingga aku meninggalkan Samudera dan beralih ke gunung. Di perjalanan menuju gunung, akupun menemukan Pagi.


Pagi
                Kala itu, aku sedang termenung, menikmati taman dibawah lampu yang sudah tak bernyawa. kapan pemerintah akan memperhatikan hal kecil tetapi sangat penting seperti ini? Batinku. Pikiranku sedang berkecamuk, aku baru saja bertengkar dengan ayahku, beliau bersikeras untuk mempertemukanku dengan seorang perempuan. “Kau pasti akan senang berkenalan dengannya, Tara.” Ucap ayah di samping tempat tidurku beberapa menit yang lalu.
                “Tapi ayah, aku tidak mau bertemu dengan anak teman dekat ayah, atau gadis pilihan ayah atau perempuan yang akan membuatku jatuh cinta atau siapalah yang ayah bilang.” Aku menghempaskan badanku ke kasur dan menutupi wajahku dengan bantal berbau mint agar aku tidak melihat wajah ayah. Ayah hanya tersenyum dan berkata, “Ayah yakin dalam waktu dekat ini kau akan bertemu dengannya, dan dirimu akan terlena olehnya.” Lalu, ayah meninggalkan kamarku.
                Lamunanku buyar ketika aku melihat seorang gadis duduk di ujung bangku taman yang aku duduki, ia tidak menatapku sama sekali, matanya tak lepas dari sebuah novel berjudul Ayah karangan Andrea Hirata. Tepat sekali dengan keadaanku. Dia kelihatan manis dengan rambut sebahu berwana hitam kecoklatan dengan kulit putih kemerahan. “Lagi sendirian ya?” aku memberikan senyuman terbaikku untuknya.
Dia hanya diam, tak berkutik,”Halo?” ujarku.
“Hah? Oh halo.” Sepertinya dia baru tersadar dari dunia imajinasinya. Dia memalingkan wajahnya ke arahku.
 Oh Tuhan, makhluk apa yang sedang memandangku ini? Batinku bergemuruh melihat parasnya, senyumnya sehangat udara senja dan mata coklat mudanya berkilau diterpa sinar matahari sore. Mendung di kepalaku tiba-tiba hilang digantikan dengan senja seindah perempuan yang berada di dekatku. Mulai saat itu ia selalu menjadi Senja terindahku.
                “Apakah novelnya bagus?” Aku bertanya padanya, sebenarnya aku sudah membaca novel tersebut tetapi aku hanya ingin mendengar suaranya yang lembut.
                “Andrea Hirata adalah cinta pertamaku, aku selalu mencintai setiap untaian kata yang ditulisnya dan setiap kali aku membaca novel ini, aku akan kembali jatuh hati seperti pertama kali aku membacanya.” Gadis itu menjawab dengan lembut, betapa aku terbuai dengan kata-kata yang dilontarkannya. Tuhan, apakah ini yang namanya cinta pada pandangan pertama?
                “Benarkah? Tetapi aku yakin namamu jauh lebih bagus daripada novel itu.” Aku menyeringai, selama ini perempuan selalu jatuh hati jika aku menggoda mereka dengan perkataanku.
                “Namaku akan sama indahnya dengan namamu jika kita sebutkan bersama-sama.” Senyumnya kembali mengembang. “Bagaimana jika kita menyebutkan nama masing-masing secara bersamaan?” lanjutnya. Aku mengangguk setuju, lagipula aku juga tidak tahu akan menjawab apa. Aku kalah telak dalam permainan ini. Dia mulai menghitung, dan dalam hitungan ketiga aku menyebutkan namaku, “Langit!”

                Aku dan dia sama-sama terlonjak dan tawa kami lepas, aku mengira dia dapat membaca pikiranku dan ingin mengerjaiku dengan menyebutkan namaku. Namun, tatapan matanya menandakan ia tidak berbohong. 

Senja
            Namaku Langit Biru, dan baru kali ini aku bertemu dengan seseorang bernama Langit selain diriku. Langit Dirgantara, aku berpikir mungkin ayahnya adalah seorang angkatan udara atau pilot, tetapi dia menggeleng dan tertawa. Dirgantara mengartikan harapan orang tuanya agar ia menjadi seseorang yang berani terbang tinggi di angkasa, dan memiliki cita-cita setinggi langit, begitulah katanya.
                Ini adalah kesekian kalinya aku bertemu dengannya di tempat yang sama. Kami saling bertukar cerita dan berbagi layaknya teman, mungkin lebih dekat. Setiap bertemu dia tak pernah bosan bertanya padaku, tentang keberangkatanku ke Amerika. Aku sedang menunggu mimpiku datang, setelah hampir setahun lamanya aku berjuang untuk menggapai mimpi besarku ini. Aku mengikuti program Pertukaran Pelajar ke Amerika, hanya menunggu hari, tepat hari ke-dua belas bulan delapan aku akan terbang ke langit yang berbeda.
                Aku tidak berani mengatakan kepadanya, tapi bagaimanapun juga dia harus tau. “Dua belas hari lagi aku berangkat.” Ucapku tepat sebelum dia akan bertanya.
                “Sepertinya kamu memang bisa membaca pikiranku.” Pagi tersenyum kepadaku, kali ini dengan senyum yang berbeda. Ada segurat kesedihan yang terlihat jelas dari mata hitamnya. Aku tidak tahu harus berkata apa. “aku… aku harus berkemas-kemas” aku berdiri dari tempat dudukku dan segera pergi.
                                                                                                ***
                Dua hari lagi aku akan berangkat, ibu memintaku untuk mengunjungi Paman Mulyadi, teman dekat ibu. Sebenarnya aku tidak terlalu mengenal keluarga Paman Mulyadi, tetapi karena ini perintah ibu jadi aku harus menurutinya. Ibu menurunkanku di depan sebuah rumah bergaya lama, rumah yang cukup besar dan terlihat sejuk dengan tanaman yang merambat di dinding sebelah kirinya. Aku berani bertaruh jika Paman Mulyadi adalah orang yang menyenangkan seperti keadaan rumahnya.
                Aku membunyikan lonceng yang ada di sebelah kanan pintu, menurutku Paman Mulyadi adalah penyuka barang-barang antik. Pintu terbuka, dan di sanalah ia berdiri. Seseorang yang beberapa hari ini aku hindari, bukan karena membencinya tetapi aku tidak ingin merasakan beban di hatiku ketika aku akan disambut oleh mimpi besarku. “Senja, sedang apa di sini?” lelaki itu bertanya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Aku mencari Paman Mulyadi. Apakah beliau di rumah?”
“Halo Langit, ibumu baru saja memberitahu bahwa kau akan datang, ayo masuk.” Dengan tiba-tiba Paman Mulyadi muncul dari belakang Pagi.
Aku memasuki rumah itu, benar saja kursi rotan dengan bantal kecil bermotif bunga menghiasi ruang tamu Paman Mulyadi. Ruangan yang sejuk, aku merasa di bawa kembali ke awal tahun 2005 sepuluh tahun yang lalu, dimana kota tempat tinggalku masih terasa sejuk di siang hari. Ada beberapa foto keluarga bergelantungan di dinding berwarna krem lembut itu, disambut dengan jam dinding kuno di tengahnya. 
“Langit kenalkan, ini anak tunggal Paman namanya Tara.” Paman Mulyadi tersenyum sembari mengenalkan anaknya kepadaku.
“Halo Tara, senang bertemu denganmu.” Aku menjabat tangannya selayaknya orang baru berkenalan.
“Hai, Senja.” Ia menyapaku dengan panggilan yang ia berikan, bukan nama asliku. Paman Mulyadi kebingungan dengan perkataan anaknya.
“Kita sudah lama kenal ayah.” Ucapnya. Paman Mulyadi tertawa melihat kami berdua. Lantas aku heran mengapa beliau tertawa, Paman Mulyadi menceritakan kepadaku bagaimana susahnya ia membujuk Pagi untuk bertemu denganku. Akupun begitu ketika diajak ibu, aku selalu keberatan dan memberikan beribu alasan. Oh jadi ini anak teman ibu yang katanya mirip Herjunot Ali? Aku hanya tersenyum mendengar cerita Paman Mulyadi. Kunjunganku ke rumah ini sangat berkesan karena aku akhirnya bertemu dengat sahabat karib ibu di masa mudanya dan aku rasa aku akan memiliki sahabat karib yang tinggal di rumah ini. Akan tetapi waktu tidak memihak kami, aku harus kembali ke rumah dan bersiap untuk keberangkatanku lusa.
                                                                                                ***
                “Sayang, kamu hati-hati di sana ya. Jangan nakal dan selalu kabari ibu setiap hari. Ibu sudah merindukanmu.” Ibu berkata seraya air mata menggenangi matanya, aku tidak tahan dengan adegan perpisahan yang sering kulihat di film-film seperti ini. Dari tadi aku menantikan kehadiran Pagi. Tuhan semoga dia tidak datang dengan berlarian sembari memelukku seperti di film yang sering aku tonton. Batinku berbicara berharap tidak ada lagi pertistiwa haru.
                Baru saja aku berdoa, dia datang dengan keadaan berlari dan memanggil namaku dari jauh. “Senja! Aku kira kau sudah pergi.” Aku terdiam dengan tangannya melingkari pinggangku, dan napasnya berhembus tersengal-sengal di dekat leherku. Dia memelukku, dan hangatnya menjalari tubuh kurusku. Aku merasakan perubahan suaranya. “Kau tak perlu menangis, aku bukanlah Marlena yang akan pergi jauh tanpa kabar dan tak pernah pulang.” Dia tertawa mendengar ucapanku, sembari melepas pelukannya tetapi tetap menggenggamku.
                “lalu kau seperti siapa?” ia mengangkat sebelah alisnya
 “aku akan seperti Zorro yang selalu memikirkan orang yang dicintainya dan pulang mengenakan kemeja ayahnya menandakan betapa rindunya ia dengan orang tersebut.” Aku menatap matanya, tak menyangka akan menyebut kata cinta kepadanya, tubuhku bergetar.
“Jadi apakah kau mencintaiku? Senja aku tidak tidur untuk memikirkan perasaanku, dan aku tidak ingin terlepas darimu.” Ia berkata sesekali wajahnya tertunduk tak berani melihatku. Akupun terdiam dan tak tahu harus menjawab apa. “Aku tak akan bisa terlepas darimu, karena kita memang tidak memiliki sebuah ikatan. Bagaimana juga seekor kuda terlepas dari talinya jika dia tak pernah diikat?” aku menjelaskan kepadanya. Aku hanya tidak ingin diriku dipenuhi dengan perasaan yang hanya akan menyakitiku nantinya. Jarak kita terlalu jauh dan akan sulit rasanya untuk menjalin suatu hubungan.
Pagi melepas jaketnya dan menyodorkannya kepadaku, “Maukah kau mengikat dirimu dengan jaket ini?”

BERSAMBUNG 

Comments

Popular posts from this blog

Twenty-four

Let's Talk About Us

Aku Ingin Tertidur Pulas di Dekapanmu